Jawa Barat

Kesehatan Mental Terganggu? Coba Rehat Sosial Media

Di era pesatnya perkembangan teknologi dan  tingginya penggunaan internet saat ini, membuat keberadaan media sosial (medsos) menjadi hal yang lumrah dimiliki orang-orang. Namun, media sosial merupakan barang yang mewah bagi saya. Saya memang bukan orang yang beruntung seperti teman – teman saya yang lain. Kala itu, ketika di bangku sekolah dasar, saat teman-teman saya sedang membicarakan aktivitas mereka di dunia maya saya hanya bisa menjadi pendengar. 

Saat itu, internet hanya bisa diakses melalui warnet saja, tidak seperti sekarang dimana internet bisa diakses kapanpun dan dimanapun cukup dengan menggunakan sebuah benda yang bisa mencakup segalanya, yakni Gawai atau lebih sering disebut Gadget/Hp. 

Itulah salah satu penyebab kenapa saya tidak pernah ikut nimbrung di setiap pembahasan teman saya soal media sosial. Apalagi, kala itu bagi saya warnet adalah salah satu tempat yang “makruh” hukumnya untuk didatangi. 

Maklum, orang tua saya memang agak protektif terhadap anaknya. Orang tua saya melarang untuk menginjakkan kaki kesana, kecuali untuk mengerjakan tugas. Itu pun harus didampingi oleh kakak. Wajar saja, Mereka takut anaknya terpengaruh hal-hal negatif yang bersumber dari warnet seperti mengakses situs-situs terlarang.

Terlepas dari semua itu, saya menikmati percakapan teman-teman saya mengenai aktivitas mereka di dunia maya. Meskipun, di dalam hati sempat terlintas rasa iri ingin melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh teman – teman saya.

Setelah melewati masa – masa tertahan untuk memiliki akun media sosial, akhirnya di umur 12 tahun, saya memiliki akun media sosial pertama saya. Saat itu, saya membuat akun Facebook di rumah paman saya yang kebetulan memiliki akses internet.

Postingan saya waktu itu cukup disitu-situ saja. Kalau tidak tentang meme, ya tentang club bola andalan saya, Manchester United. Cukup sederhana memang, namun bagi saya bisa memuaskan diri untuk menyalurkan hal yang saya suka.

Hal tersebut bertahan hingga saya masuk di bangku SMP kelas 8, ketika Instagram mulai digandrungi kaum remaja. Sedikit demi sedikit, saya meninggalkan Facebook dan mulai berpindah ke Instagram. 

Berganti platform berganti pula gaya bermain social media. Yang dulu hanya sebatas meme dan Manchester United, malah berganti jadi agak narsis dengan memposting foto diri sendiri. Sesuatu yang jarang dilakukan saya sebelumnya.

Saya mencoba untuk mengikuti gaya kebanyakan orang dalam bermedia sosial. Di titik inilah adiksi terhadap likes, kolom komentar yang ramai, hingga munculnya notifikasi.

Hingga pada akhirnya, saya tiba di satu titik saya mulai lelah untuk mengejar engagement dari media sosial yang saya rasa itu semua bersifat semu.

Saya kembali ke gaya hanya memposting hal-hal yang saya suka, kembali memposting yang tidak jauh tentang sepakbola. Dan ternyata rasanya lebih membuat hati sedikit lebih lega karena tidak harus memikirkan engagement dari media sosial.

Tapi itu tidak bertahan lama, semuanya berubah ketika saya mengalami patah hati. Rasanya malas untuk membuka media sosial terlebih ketika si dia memposting sesuatu.

Akhirnya saya memutuskan untuk hanya membuka YouTube walaupun ternyata membuat saya bosan karena terlalu bayak video yang saya tonton. Sampai suatu ketika, saya menemukan video- video dari Niklas Christl.

Pada videonya dia melakukan hal yang menurut saya bisa dibilang ekstrim, yaitu rehat bermedia sosial. Di era digital seperti ini, mungkin agak berat untuk meninggalkan media sosial, terlebih bagi mereka yang menggantungkan hidupnya di media sosial.

Meskipun agak berat, tapi “puasa” bermedia sosial layak dicoba terlebih bagi mereka yang sudah jengah dengan isi konten yang ada di media sosial. Bagaimana tidak jengah? Isi konten media sosial saat ini lebih banyak “sampah” daripada yang “berbuah”.

Bayangkan saja, dalam sehari scroll sudah berapa konten yang templatenya itu – itu lagi tapi tetap saja ditonton sampai habis. Belum lagi banyak bertebaran orang yang memberikan opini yang menyesatkan umat. Tak hanya itu, hal ini diperparah dengan orang – orang yang membuat gimmick dan drama hanya untuk menarik perhatian publik yang sebenarnya hanya memberikan input sampah pada otak kita.

Selain itu, dampak kecanduan media sosial pun bisa dirasakan. Seperti yang saya alami, saya secara default membuka aplikasi seperti Whatsapp, Instagram, dan Twitter meskipun sebetulnya tidak ada notifikasi penting dari ketiga aplikasi itu.

Akhirnya, saya pun mengikuti apa yang dilakukan oleh Niklas Christl. Saya menghapus Twitter dan Instagram dari ponsel saya. Lalu, saya mematikan notifikasi dari Whatsapp karena mungkin saya bisa ketinggalan info penting tentang perkuliahan dari teman saya, jika saya menghapus Whatsapp.

Saya berniat melakukan hal ini selama kurang lebih satu pekan. Di 3 hari pertama, saya masih membuka ketiga aplikasi tadi secara default. Mungkin itu karena saya masih belum punya alternatif kegiatan pengganti scrolling di timeline media sosial.

Untuk mengisi waktu yang biasa saya habiskan untuk scrolling timeline, saya isi dengan berolahraga jogging kecil sejauh 4 – 8 kilometer di pagi atau sore hari. Tentu saja masih banyak waktu luang yang sayang kalau tidak digunakan. 

Selain berolahraga, saya sedikit lebih rajin dalam membersihkan rumah. Hal yang tumben bagi seorang remaja pemalas seperti saya. Selain itu, saya lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga saya, entah itu bermain bersama adik atau lebih banyak ngobrol dengan orangtua.

Setelah melalui kurang lebih seminggu puasa bermedia sosial. Saya merasakan beberapa perubahan. Seperti menjadi lebih produktif dibanding sebelumnya dengan melakukan hal – hal yang positif.

Selain itu, saya mulai tidak menggantungkan diri pada media sosial. Kebiasaan membuka media sosial secara default pun perlahan berkurang. Beban pikiran pun berkurang karena tidak perlu memikirkan hal yang semestinya tidak perlu mendapat atensi.

Mungkin saya harus lebih sering melakukan puasa bermedia sosial ini. Hingga saya berpikir saya harus menjadwal social media free day. layaknya car free day sebagai upaya menjaga kelestarian lingkungan, saya harap social media free day ini bisa jadi menjadi upaya menjaga kesehatan mental.

Leave a Reply